Kamis, 04 Agustus 2011

NASKAH MERTASINGA: PANGERAN BANTEN MENOBATKAN DIRI MENJADI SULTAN

PANGERAN BANTEN MENOBATKAN DIRI MENJADI SULTAN 
(pupuh LXX.20 - LXXI.11)
Kita tinggalkan kisah di Pakungwati, dikisahkan lagi keturunan wali dari Banten yang bernama Pangeran Kenari. Sang Pangeran pergi ke tanah Arab untuk naik haji ke Baitullah. Sekembalinya dia mendapat ijin dari Sultan Mekah untuk bertahta sebagai raja di negara Banten, serta diberi pakaian pusakanya Nabi Ibrahim. Setibanya di Banten, Pangeran lalu mengumpulkan sanak keluarganya, para kaum dan para sentana. Kemudian  Pangeran mengangkat dirinya menjadi raja di Banten.
Sultan Mataram mendengar hal tersebut menjadi sangat murka dan tidak dapat menerima pengangkatan tersebut. Di Jawa setiap pengangkatan menjadi Sultan itu harus dengan ijin dari Mataram, kalau tidak maka dia akan diperangi oleh Mataram. Sultan Banten pun sudah bersiap-siap menyambut serbuan Mataram karena Banten tidak mau tunduk kepada Mataram. Kemudian terjadilah peperangan yang lama, berlangsung selama beberapa tahun antara Banten dengan Mataram.
Kemudian ada seseorang yang dapat mendamaikan peperangan ini, dia adalah seorang Belanda yang bernama Kapten Morgel . Dalam perdamaian itu Mataram mau mengakui pengangkatan itu dan sebagai imbalannya Banten harus mengirimkan tugur, pasukan penjaga, ke Mataram setiap tahun. Pasukan ini bergantian datang ke Mataram untuk tugas jaga. Setelah tercapai perdamaian itu ternyata Kapten Morgel meminta upah berupa daerah, upah untuk jasanya yang telah mendamaikan orang perang itu. Dia minta diberi daerah di tanah Betawi. Atas permintaan itu baik Sunan Banten dan Mataram keduanya menyetujuinya. Itulah awal adanya orang Belanda di Betawi yang kemudian mengatur dan mengurus para raja di Jawa .
Masuknya Belanda itu bagaikan racun yang menyusup ke tanah Jawa. Para raja Jawa belum sadar bahwa dalam tubuhnya telah masuk racun itu yang kemudian akan merusaknya. Belanda mencari kesempatan untuk malang melintang dan mengatur raja-raja di Jawa itu merupakan warisan dari leluhurnya. Dahulu Dewi Mandapa, anak raja Pajajaran yang terakhir, yang tak mau masuk agama Islam, anaknya bernama Dewi Tanuran Gagang tinggal di Pulau Inggris. Tanurang Gagang itu bercampur dengan orang kulit putih dan sekarang sudah sampai pada buyutnya, yaitu yang diceritakan bernama Kapten Morgel yang datang minta kedudukan di tanah Jakarta. Dia terikat oleh warisannya yang dahulu, melanjutkan kekuasaan negara Pakuan dan akan mengusik raja-raja Jawa di kemudian hari.
Di Banten mulai ada Sultan yaitu pada babad jaman 1519 (1597 M.), pada waktu itulah awal bertahtanya  keturunan raja wali di Banten. Sultan Agung Kanantun lalu ingin membangun Mesjid Agung. Nama kaumnya yaitu Kyai Abdul Mahmud, Kyai Abdul Al Mapakir dan Abdul Al Kodariyah, mesjidnya dibangun tepat pada babad jaman 1532 (1610 M.), sebuah mesjid yang indah. Adapun awalnya keberadaan orang Belanda di Betawi, yang bernama Kapten Morgel, yaitu pada babad jaman 1530 (1608 M.).
Adapun di Carbon pada waktu itu Panembahan masih berada di bawah pengawasan Mataram. Walaupun demikian sebagai keturunan dari raja wali, dalam hatinya sang Panembahan selalu bersyukur, dan keadaan Carbon pun masih makmur. Pada waktu itu belum ada orang Belanda ataupun orang Cina, tembok kota Carbon masih berdiri dengan kokoh.

CATATAN:
1.      Pangeran Kenari atau Pangeran Kanantun, Sultan Agung Kanantun (1596 – 1651).          
2.      Kapten Morgel. Tokoh ini tidak dikenal dalam sejarah. Nama ini merupakan nama traditional untuk Gubernur-gubernur Jendral Hindia Belanda. Panggilan ini berasal dari kata Kapten Mur, yang asalnya dari bahasa Portugis Capitao Mor, yang berarti panglima tertinggi. Dalam babad ini tokoh Kapten Morgel hadir sejak tahun 1608, yaitu yang dikisahkan menyelesaikan perselisihan antara Banten dengan Mataram sehingga sebagai upahnya dia memperoleh daerah di Jakarta. Tokoh Kapten Morgel ini masih berkuasa sebagai Gubernur Jendral pada masa pemerintahan Sultan Kasepuhan ketika diminta bantuan oleh Pangeran Emas untuk dinobatkan menjadi Sultan Kacarbonan (lihat bab XXXII). Mungkin, diciptakannya tokoh Kapten Morgel ini adalah sebagai panggilan umum untuk penguasa Belanda atau seperti yang dikatakan oleh Prof. Hoesein Djajadiningrat, yaitu sebagai "pengesahan" atas penguasaan Belanda atas raja-raja Jawa karena tokoh "Kapten Morgel" itu dimitoskan sebagai keturunannya raja Pajajaran yang menuntut balas.
Kedatangan Belanda dan VOC. Sekitar tahun 1600 kapal dagang Belanda dibawah pimpinan Cornelis de Houtman mendarat di  pelabuhan Banten. Dimana kemudian mereka tinggal dari tahun 1596 - 1598. Kemudian  VOC didirikan Belanda dan mengangkat Peter Both sebagai Gubernur Jendral  untuk  Timur Jauh dan Jan  Piterzoon  Coen  sebagai Gubernur Jendral  di Jawa. Pada tahun 1618  dia  datang  ke Jakarta dan menghadap kepada Pangeran Jaketra untuk  memperoleh izin mendirikan gudang dan benteng di Jaketra.
3.      Pagarage. Sejarah Banten memberitakan adanya percobaan Carbon untuk menaklukan Banten yang konon terjadi pada tahun 1650, yang dikenal sebagai Pagarage. Menurut sumber diatas, di Banten datang dua orang utusan dari Carbon yang bertujuan untuk membujuk Sultan Banten supaya bersama Carbon mau menghadap Mataram. Akan tetapi jawaban yang mereka peroleh adalah "Sultan Banten tidak mau mengakui raja manapun diatasnya selain Sultan Mekkah yang sering mengirimkan surat kepadanya berisi pelajaran-pelajaran yang berhikmah". Selanjutnya sejarah mencatat perang antara Carbon dan Banten pada tanggal 22 Desember 1650, yaitu pada masa pemerintahan Panembahan Girilaya dimana Carbon mengalami kekalahan. Kemungkinan ketidak berhasilan Carbon untuk membujuk dan kemudian memaksa Banten ini yang menyebabkan turunnya kredibilitas Panembahan Girilaya di mata Amangkurat-I. Disamping itu kemungkinan pertempuran ini pula yang menyebabkan menjadi renggangnya hubungan antara kedua keturunan Sunan Gunung Jati ini, sehingga Banten tidak mengambil tindakan pada waktu Panembahan Girilaya diculik dan dibunuh di Mataram pada tahun 1662, dan baru mengambil tindakan setelah 16 tahun kemudian.

Jumat, 29 Juli 2011

NASKAH MERTASINGA: MESJID AGUNG CIREBON TERBAKAR

MESJID AGUNG CARBON TERBAKAR 
(pupuh LXIX.09 - LXIX.18)
Diceritakan kemudian, ada lagi masalah yang dihadapi Panembahan Ratu. Konon lamanya percobaan-percobaan yang dihadapinya itu selama empat puluh delapan tahun, merupakan percobaannya bagi orang fakir. Mesjid Agung Carbon terbakar, atapnya dimakan api yang datang dari arah selatan. Melihat itu orang kaum gempar semua, mereka datang berebut mengambil air.
Ki Lebe Dul Iman sibuk mendorong-dorong kayu yang terbakar dengan galahnya. Merbot Hamjan bersama Ki Modin menaburkan debu dan mengerahkan orang-orang yang membawa air. Modin Yusup dan para pembantunya menaburkan tanah untuk mematikan api. Lalu berdatangan para Lebe (kepala desa) dari pedesaan, mereka datang untuk membantu memadamkan api. Di tengah kesibukan itu tiba-tiba pataka (puncak masjid)-nya melesat ke atas menembus asap hitam yang membumbung ke angkasa, dan akhirnya jatuh di Banten. Peristiwa ini sebagai isyarat bagi Banten, bahwa bertahtanya Sultan di Banten itu akan tumpas.
Akhirnya api pun dapat dipadamkan, yang terbakar ialah pataka beserta atapnya yang bersusun tiga. Orang Carbon amat susah hatinya, maka kemudian atas kehendak Gusti Pakungwati dikumpulkan para buyut, sesepuh dan semua juru kunci. Tujuan pertemuan itu ialah untuk meminta urun rembuknya atas keinginan Panembahan untuk segera memperbaiki Mesjid Agung itu. Dalam pertemuan itu diusulkan untuk mengganti atap yang terbakar itu dengan atap berbentuk limasan (bentuk atap rumah), jadi tidak dibangun lancip seperti dahulu lagi karena keadaannya sudah berbeda dengan jamannya wali dahulu. Panembahan menyetujui usul itu dan juga bangunannya ditambah dengan emper di sekitarnya sebagai serambinya.
Pintunya ditambah bata mulus yaitu bata putih yang dibentuk indah, dan lagi di tempat imam dibentuk bunga Tanjung diatas telaga beserta bentuk jantung pisang yang tersembul dengan indahnya. Sangkala (angka tahun) mesjid itu ialah: Mungal mangil mungup singgih. Atap mesjid itu telah dibangun kembali dengan indahnya, sebagai tanda atas jasanya para leluhur, yaitu para Walisanga kepada anak cucu Carbon.

Jumat, 22 Juli 2011

NASKAH MERTASINGA - MASJID AGUNG CARBON MENDAPAT GANGGUAN ( III )

NASKAH MERTASINGA - MASJID AGUNG CARBON MENDAPAT GANGGUAN ( III )
CATATAN PENTERJEMAH MENGENAI RACUN UPAS
(Catatan kaki Naskah Mertasinga)

Tidak jelas bentuk apa yang dimaksud dengan "bruang mandi" tersebut yang kemudian dapat diusir oleh Nyi Tegal Alang-alang dan terlempar ke Gua Upas "tempat dimana racun-racun seperti itu berada". Kemungkinan racun yang dimaksud adalah "racun Upas", yang dikenal sangat ampuh pada waktu itu. Mengenai racun ini mendapat perhatian para penulis Inggris yang datang ke Indonesia pada waktu itu, baik dalam buku History of Java, Conquest of Java maupun oleh Stockdale dalam Island of Java.
Dalam bukunya, Stockdale (1811:312) menulis bahwa racun tersebut berupa getah dari pohon Upas yang baunya sangat mematikan. Konon dalam radius sekitar 10 sampai 12 mil dari pohon tersebut keadaannya sangat tandus, tidak ada pohon, semak-semak atau rerumputan yang dapat tumbuh.  Dalam radius tersebut tidak akan ada binatang ditemukan, bahkan ikan di air, tikus ataupun serangga sekalipun. Bilamana burung mendekat pohon tersebut dan hawanya mencapai mereka, maka burung itu akan jatuh dan mati. Getah pohon ini  juga diambil untuk dipergunakan sebagai racun melalui makanan, minuman atau melalui darah yaitu dengan dioleskan di ujung senjata.
Pengambilan getah tersebut biasanya dilakukan oleh narapidana yang dijatuhi hukuman mati. Setelah vonis dijatuhkan oleh hakim, mereka mendapat pilihan apakah memilih mati ditangan algojo ataukah mengambil getah Upas dengan kemungkinan selamat. Kebanyakan dari mereka biasanya mengambil pilihan kedua itu. Bilamana hal tersebut mereka lakukan, mereka akan dibekali kotak perak atau kotak yang terbuat dari kulit penyu sebagai tempat racun tersebut. Kemudian mereka diberi petunjuk antara lain untuk tidak melawan angin yang mungkin membawa bau racun tersebut. Mereka akan didandani dengan baju kulit yang menutupi dari kepala hingga ke dadanya, dengan lubang yang diberi kaca di bagian matanya dan mengenakan sarung tangan. Konon hanya 2 dari 20 orang saja dari mereka yang berhasil dan dapat kembali dengan selamat.
Dalam buku diatas diceriterakan juga mengenai pengalaman seorang penulis Inggris yang pada bulan Februari 1776 hadir pada waktu hukuman mati dijatuhkan terhadap 13 selir raja Mataram yang dituduh tidak setia. Diceriterakan bahwa pada siang itu kira-kira jam 11.00, mereka digiring ke lapangan terbuka di dalam halaman kraton. Di tempat tersebut hakim menjatuhkan vonisnya dimana mereka diputuskan untuk mati dengan pisau lancet yang telah diracuni getah Upas. Menurut buku tersebut kemudian mereka harus mengaku dan bersumpah bahwa tuduhan yang dijatuhkan terhadap mereka berikut hukumannya adalah adil dan jujur. Hal tersebut mereka lakukan dengan menaruh tangan kanan mereka di atas kitab Al-Quran dan tangan kiri di atas dadanya sambil menengadah ke langit. Hakim kemudian menyodorkan kitab Al-Quran untuk mereka cium. Setelah upacara ini selesai, acara dilanjutkan dengan eksekusi hukuman. Mereka dibawa ke tiga belas tonggak yang masing-masing setinggi 5 kaki dimana mereka diikat dengan dada terbuka. Doa-doa dibacakan sampai tanda mulainya eksekusi diberikan kepada algojo yang mempergunakan semacam keris yang sudah diracuni dengan racun Upas. Dengan senjata ini terhukum disayat di tengah-tengah dadanya, proses ini memakan waktu hanya dua menit. Lima menit kemudian mereka mulai meraung kesakitan yang amat sangat, dan enam belas menit kemudian mereka semua sudah mati. Tubuh mereka penuh bercak-bercak, muka membengkak warna kulit menjadi biru lebam serta bola matanya berubah  warnanya menjadi kuning.
Nyi Tegal Pangalang-alang. Menurut beberapa sumber, Nyi Tegal Alang-alang ini adalah anak dari Pangeran Cakrabuana (uwak dari Syarif Hidayatullah) dengan Nyi Mas Kancana Larang yang dikenal dengan nama Nyi Dalem Pakungwati.

NASKAH MERTASINGA: MASJID AGUNG CARBON MENDAPAT GANGGUAN ( II )

NASKAH MERTASINGA: MASJID AGUNG CARBON MENDAPAT GANGGUAN ( II )
NYI TEGAL PANGALANG-ALANG MEMBANTU PANEMBAHAN RATU 
(pupuh LXVII.09 - LXVII.30)

Dengan telah terjadinya bencana itu, keadaan mesjid menjadi sangat memprihatinkan, karena sekarang tidak bisa lagi dipergunakan untuk sholat. Panembahan sangat risau hatinya lalu segera pergi meminta bantuan kepada neneknya yang berada di Tegal, Nyi Pengalang-alang namanya . Sang nenek berkata, "Ya ini memang pekerjaannya orang tua". Panembahan telah mengetahui adanya guna-guna di memolo / bubungan mesjid itu.
Nyi Pengalang berkata dengan lembut, "Kataku juga apa, guna-guna itu amat saktinya, nenek minta biar aku saja nanti yang mengusirnya. Orang yang sudah tua itu nak, kalau mati itu tidak cerewet. Dan engkau nak, nanti lihatlah saja dari luar mesjid, tidak usah  ikut membantu karena nenek sendiri sanggup menghilangkan guna-guna sakti itu". Panembahan menjawab, "Baiklah nanti nenek saja yang masuk dan hamba akan berada di luar mengawasi".
Begitulah lalu Nyi Gedeng Pangalang-alang mengambil air wudhu, selesai mensucikan diri lalu dia masuk ke bangsal Mesjid Agung dan lalu bersuci sekali lagi untuk menghilangkan kotoran kotoran yang mungkin terlewat, seperti dikatakan dalam ungkapan manuk mabur datan kari lan kurungan nipun   (burung terbang tak tertinggal kurungannya) . Barulah kemudian dia masuk ke dalam mesjid. Di dalam mesjid kemudian dia menyerukan azan dengan suara melengking memekakan telinga. Suaranya bagaikan mengguncang jagat, bumi menjadi bergoyang-goyang dan kemudian terdengar ledakan diatas langit-langit. Ketika terdengar suara azan eyang Gedeng Pangalang-alang yang demikian kerasnya, guna-guna itu terlempar dari pataka mesjid dan menyembur hilang musnah, dan keadaan pun kembali seperti sedia kala. Diceritakan guna-guna sakti itu terlempar jauh dan kemudian masuk ke dalam Gua Upas, gua dimana berkumpul guna-guna lainnya . 
Adapun nenek Pangalang-alang, dengan terlemparnya guna-guna itu ke Gua Upas, dia pun hilang seperti ditelan bumi di tengah-tengah mesjid itu. Nyi Pangalang-alang itu telah hilang dari dunia ini, dia telah pindah ke dunia yang latif (maha halus). Panembahan sangat terkejut menyaksikan hilangnya sang nenek. Si nenek itu masuk jiwa dan raganya meraga-sukma sebagai halnya seorang wali. Semua orang di Pakungwati sudah mengetahui bahwa Nyi Gedeng sudah tiada. Walaupun terjadinya di Mesjid Agung, akan tetapi kuburannya bukan di situ, tempat itu hanyalah sebagai tempat menghilangnya saja.
Kekhawatiran Panembahan sudah berlalu, namun kehawatiran berikutnya adalah mengingat akan nasihat yang diberikan pada waktu jamannya Sinuhun Jati menghukum Syekh Lemabang itu. Ada suara yang mengingatkan bahwa jika telah sampai pada keturunan yang ke sembilan maka anak cucu Sinuhun Jati akan diselingi oleh budi durga (budi jahat), oleh kerbau bule bermata kucing, yang datang dari arah barat. Hal ketiga Panembahan teringat akan kata-katanya Sunan Kalijaga dahulu, bahwa sepeninggalnya Sinuhun Jati maka Mesjid Agung akan terbakar. Diceritakan kemudian bahwa Panembahan Ratu lah kelak yang akan memadamkan kebakaran itu. Hal keempat yang merisaukan Panembahan ialah apabila nanti ada lagi yang membuat keributan seperti ini, lalu siapa yang akan menolong karena si nenek sudah tiada, tidak ada lagi yang dapat diandalkan menjadi tumbal negara, demikian Panembahan berkata dalam hatinya (bersambung).

NASKAH MERTASINGA: MASJID AGUNG CARBON MENDAPAT GANGGUAN ( I )

NASKAH MERTASINGA: MASJID AGUNG CARBON MENDAPAT GANGGUAN ( I )
(pupuh LXVI.20 - LXVII.09)

Seperti telah kita ketahui, Panembahan Ratu adalah seorang raja yang berwatak Aulia. Di mesjid Carbon suara orang-orang yang berzikir selalu terdengar bergemuruh siang dan malam. Waktu itu Mesjid Agung masih satu bangunan saja belum ada serambi di sekelilingnya, dan masih dibatasi tembok. Patakanya terbuat dari perunggu dan bentuknya mencuat tajam.

Kemudian di Carbon tersiar berita yang menggemparkan yaitu datangnya seorang panglima utusan dari Mataram, Gedeng Anis namanya. Setiap tiga tahun dia bertugas untuk berkeliling memeriksa raja-raja bawahan Mataram. Semua negara yang berada di bawah Mataram dikunjunginya untuk diperiksa bahwa di negara itu tidak ada gejala-gejala pemberontakan kepada Mataram. Hal itu dilakukan untuk menjaga jangan sampai adanya raja bawahan yang memberontak kepada kekuasaan Mataram. Pada waktu Ki Gedeng Anis datang memeriksa Pakungwati. Di sana dia melihat ramainya mesjid yang dikunjungi oleh orang-orang mengaji di malam hari. Memang dalam hal penyebaran agama Islam di Carbon jumlah pengikutnya semakin meningkat. Dengan demikian Carbon  bisa menjadi kutub (luhur) kembali, hal tersebut mengkhawatirkan Ki Gedeng Anis. "Jika betul Carbon sekarang mewarisi keluhuran Sinuhun Purba, baiklah aku akan mecobanya", demikian pikir Gedeng Anis. Lalu di waktu malam Ki Gedeng Anis memerintahkan untuk menaruh bruang mandi (guna-guna yang ampuh) di pataka masjid itu. "Jika benar ada yang bisa menawarkannya, aku akan mengakui ke-kutub-an Carbon dan aku akan patuh kepadanya", demikian pikir Ki Anis.

Dengan cara yang amat halus dan tak ada seorangpun yang mengetahuinya, ditaruhnya guna-guna itu. Akibatnya, orang-orang Carbon yang biasa memenuhi mesjid tersebut menjadi merasa kedinginan dan sangat ketakutan. Ternyata tak ada seorangpun yang kuat menahan pengaruh guna-guna itu sehingga mereka bubar dan tak ada lagi yang mau datang ke mesjid. Sepi sudah orang-orang yang mengaji. Ki Gedeng Anis berkata, "Ternyata benar, Carbon sudah tidak mewarisi keluhuran (kutub) lagi". Selesai sudah tugasnya untuk mengamankan negara-negara jajahannya (bersambung).

Kamis, 14 Juli 2011

NASKAH MERTASINGA: PEMBANGUNAN MESJID AGUNG CIREBON

NASKAH MERTASINGA: PEMBANGUNAN MESJID AGUNG CIREBON

SINUHUN JATI MEMBANGUN MESJID AGUNG PAKUNGWATI 
(pupuh XXII.37 - XXII.47)
Sinuhun Gunung Jati berkehendak untuk membangun Mesjid Agung Pakungwati yang kelak akan menjadi pusaka di Carbon. Uwaknya [Pangeran Cakrabuana] diminta untuk mengumpulkan bahan-bahan untuk pembangunan masjid itu. Dari seluruh pelosok negeri telah dikumpulkan kayu yang baik untuk dipakai sebagai tiang. Sunan Rangga sudah mengerti akan keinginan putranya itu. Dengan segera sudah banyak terkumpul kayu-kayu yang diperlukan. Tukangnya berjumlah seratus orang, sebanyak bahan yang ada, atap sirap sudah dipilihi, paku dan batu bata sudah terkumpul di Pakungwati.
Kemudian Sinuhun Jati berkata kepada Syekh Datuk Khapi, "Kakanda Datuk Khapi, tolong tuliskan surat untuk dikirimkan ke negara Banisrail. Sampaikan kepada adinda Nurullah agar mengupayakan kayu Jati. Mintalah yang utama, yang panjang, untuk dijadikan sakagurunya. Hanya empat buah saja yang kubutuhkan,  satu tiang saka dari Mesir sebagai sumbangannya Babu Dampul, satu dari Banisrail sebagai sumbangannya adinda Nurullah, satu lagi dari Bagdad sebagai sumbangan dari Datuk Khapi, dan satu lagi dari Surandil sumbangan dari Syekh Benthong. Segera Datuk Khapi menulis surat tersebut dan mengirimkannya. Sementara itu yang membangun terus bekerja, sambil menunggu datangnya kiriman keempat kayu sakaguru  dari negara Arab.

PENYELESAIAN MASJID AGUNG CARBON 
(pupuh XXVIII.13 - XXVIII.15)
Setibanya Sinuhun Jati di Dalem Agung, beliau berkehendak untuk segera mendirikan mesjid yang patakanya sudah didirikan. Semua wali sangat bersemangat dalam membantu pembangunan mesjid ini. Mereka telah mendirikan rangkanya bersama-sama. Ketika keesokan harinya diperiksa terjadi lagi perselisihan mengenai arah Kiblat. Sebagian mengatakan kurang ke selatan, lainnya mengatakan kurang ke utara dan lainnya lagi mengatakan sudah tepat arah kiblat itu. Sehingga kerangka mesjid itu diangkat dipindah-pindah berubah arah setiap kali terdengar pendapat baru. Demikian berlangsung tak habis-habisnya. Sunan Kalijaga kembali memberikan penyelesaiannya seperti yang dilakukannya waktu di Demak.

SASMITA MESJID AGUNG CARBON 
(pupuh XXVIII.15 - XXVIII.21)
Setelah selesai pembangunan mesjid Agung Carbon semua Wali memanjatkan puji syukur dan para Wali melakukan sholat Subuh. Setelah sholat Sunan Kalijaga membuat sasmita/isyaratnya mesjid ini : Sang gligir manik pethak, putra jagat bawur, bawuring wong timbul tatal, timbul aning ngaliwung awang nguwung, sageb ana waniya. Sarta takutana dadi sarta wani, sampurnaneng jagat sedaya, sangang ngatus ya kathahe, punjule patang puluh, kalawan lelima puniki.
Waktu itu usia Sinuhun Jati 113 tahun. Kemudian para Wali memberikan sumbangan-nya untuk mesjid ini. Sunan Bonang menyumbangkan satu tikar yang digelarkan di sebelah utara, Syekh Benthong menyumbang satu tikar yang berasal dari Medinah dan digelarkan di paimaman yang di sebelah utara, Sunan Jati menyumbang satu tikar yang berasal dari Pulau Majeti dipasang di tengah paimaman. Sunan Kalijaga menyumbang satu tikar yang digelarkan di sebelah utaranya tikar Sunan Purba. Pada waktu itu semua wali bergantian menjadi Imam shalat Jum'at di Mesjid Agung. Pangeran Makdum yang menjadi Juru komat sholat Jum'at. Pangeran Datuk Khapi, yang memegang waman ah sannun-nya (yang mengatur mesjid dalam hal jadwal, shaf, dsb), Tuan Jopak, dan Tuan Bumi. Yang melayani : Sunan Panggung, Tuan Puti, Pangeran Kajoran, bersama Pangeran Drajat. Pangeran Kajoran tanggung jawabnya memegang inalaha (hukum-hukum). Semuanya ini diatur dengan persetujuan para wali.

Catatan penterjemah:
1.      Pembangunan Mesjid Carbon menurut babad ini dibangun pada waktu Sunan Gunung Jati berusia 113 tahun, atau diperkirakan pada tahun 1561 M.
2.      Menurut sebuah catatan dalam naskah lama lain disebutkan bahwa sesuai dengan persetujuan wali, Masjid Agung Carbon diberi nama Sang Ciptarasa, momolonya diberi nama (tidak terbaca), beduknya diberi nama Sang Guru Mangi, mimbarnya diberi nama Sang Srangenge, mikrodnya diberi nama Jubled.

Minggu, 10 Juli 2011

NASKAH YANG SUDAH DITERBITKAN

Buku terjemahan dari naskah lama yang selesai ditulis pada tahun 1889 M pada masa pemerintahan Sultan Syamsuddin II dari Kasepuhan. Naskah asli ditulis dengan tulisan Arab pegon dalam bahasa Cirebon / Sunda / Jawa Kuna. Buku alih aksara dan bahasa dilengkapi silsilah ini mengisahkan babad mengenai Sunan Gunung Jati. Kisah terlengkap mengenai SGJ yang ada. Dengan Kata Pengantar dari sultan Sepuh Kasepuhan dan Dr. Uka Tjandrasasmita. 526 halaman.

Buku terjemahan dari naskah lama mengenai ajaran2 yang diperoleh SGJ, melengkapi buku yang pertama. Bilamana buku pertama banyak berisi mengenai sejarahnya maka dalam buku ini lebih pada uraian-uraian mengenai ajaran Tasawuf, khususnya mengenai ajaran Tarekat Syatoriah dan utamanya dalam paham wahdatul wujud. Hal ini tidak mengherankan karena naskah ini merupakan bagian dari sebuah naskah lama yang berisikan pelajaran mengenai tarekat tersebut. Naskah ini selesai ditulis pada 4 April 1880 M. Dalam buku ini  dicantumkan baik alih aksaranya dari tulisan arab kedalam huruf latin, dan terjemahannya, beserta beberapa catatan kaki untuk melengkapi. 196 halaman.


Terjemahan dari naskah lama "Waosan Babad Galuh" (Naskah Kraton Kasepuhan Cirebon), mengenai babad raja-raja Pajajaran dari Prabu Ciungwanara hingga Prabu Siliwangi, hingga anak keturunannnya. Dilengkapi dengan silsilah keturunannya. 429 halaman.

DALAM PROSES PENYELESAIAN: