Jumat, 29 Juli 2011

NASKAH MERTASINGA: MESJID AGUNG CIREBON TERBAKAR

MESJID AGUNG CARBON TERBAKAR 
(pupuh LXIX.09 - LXIX.18)
Diceritakan kemudian, ada lagi masalah yang dihadapi Panembahan Ratu. Konon lamanya percobaan-percobaan yang dihadapinya itu selama empat puluh delapan tahun, merupakan percobaannya bagi orang fakir. Mesjid Agung Carbon terbakar, atapnya dimakan api yang datang dari arah selatan. Melihat itu orang kaum gempar semua, mereka datang berebut mengambil air.
Ki Lebe Dul Iman sibuk mendorong-dorong kayu yang terbakar dengan galahnya. Merbot Hamjan bersama Ki Modin menaburkan debu dan mengerahkan orang-orang yang membawa air. Modin Yusup dan para pembantunya menaburkan tanah untuk mematikan api. Lalu berdatangan para Lebe (kepala desa) dari pedesaan, mereka datang untuk membantu memadamkan api. Di tengah kesibukan itu tiba-tiba pataka (puncak masjid)-nya melesat ke atas menembus asap hitam yang membumbung ke angkasa, dan akhirnya jatuh di Banten. Peristiwa ini sebagai isyarat bagi Banten, bahwa bertahtanya Sultan di Banten itu akan tumpas.
Akhirnya api pun dapat dipadamkan, yang terbakar ialah pataka beserta atapnya yang bersusun tiga. Orang Carbon amat susah hatinya, maka kemudian atas kehendak Gusti Pakungwati dikumpulkan para buyut, sesepuh dan semua juru kunci. Tujuan pertemuan itu ialah untuk meminta urun rembuknya atas keinginan Panembahan untuk segera memperbaiki Mesjid Agung itu. Dalam pertemuan itu diusulkan untuk mengganti atap yang terbakar itu dengan atap berbentuk limasan (bentuk atap rumah), jadi tidak dibangun lancip seperti dahulu lagi karena keadaannya sudah berbeda dengan jamannya wali dahulu. Panembahan menyetujui usul itu dan juga bangunannya ditambah dengan emper di sekitarnya sebagai serambinya.
Pintunya ditambah bata mulus yaitu bata putih yang dibentuk indah, dan lagi di tempat imam dibentuk bunga Tanjung diatas telaga beserta bentuk jantung pisang yang tersembul dengan indahnya. Sangkala (angka tahun) mesjid itu ialah: Mungal mangil mungup singgih. Atap mesjid itu telah dibangun kembali dengan indahnya, sebagai tanda atas jasanya para leluhur, yaitu para Walisanga kepada anak cucu Carbon.

Jumat, 22 Juli 2011

NASKAH MERTASINGA - MASJID AGUNG CARBON MENDAPAT GANGGUAN ( III )

NASKAH MERTASINGA - MASJID AGUNG CARBON MENDAPAT GANGGUAN ( III )
CATATAN PENTERJEMAH MENGENAI RACUN UPAS
(Catatan kaki Naskah Mertasinga)

Tidak jelas bentuk apa yang dimaksud dengan "bruang mandi" tersebut yang kemudian dapat diusir oleh Nyi Tegal Alang-alang dan terlempar ke Gua Upas "tempat dimana racun-racun seperti itu berada". Kemungkinan racun yang dimaksud adalah "racun Upas", yang dikenal sangat ampuh pada waktu itu. Mengenai racun ini mendapat perhatian para penulis Inggris yang datang ke Indonesia pada waktu itu, baik dalam buku History of Java, Conquest of Java maupun oleh Stockdale dalam Island of Java.
Dalam bukunya, Stockdale (1811:312) menulis bahwa racun tersebut berupa getah dari pohon Upas yang baunya sangat mematikan. Konon dalam radius sekitar 10 sampai 12 mil dari pohon tersebut keadaannya sangat tandus, tidak ada pohon, semak-semak atau rerumputan yang dapat tumbuh.  Dalam radius tersebut tidak akan ada binatang ditemukan, bahkan ikan di air, tikus ataupun serangga sekalipun. Bilamana burung mendekat pohon tersebut dan hawanya mencapai mereka, maka burung itu akan jatuh dan mati. Getah pohon ini  juga diambil untuk dipergunakan sebagai racun melalui makanan, minuman atau melalui darah yaitu dengan dioleskan di ujung senjata.
Pengambilan getah tersebut biasanya dilakukan oleh narapidana yang dijatuhi hukuman mati. Setelah vonis dijatuhkan oleh hakim, mereka mendapat pilihan apakah memilih mati ditangan algojo ataukah mengambil getah Upas dengan kemungkinan selamat. Kebanyakan dari mereka biasanya mengambil pilihan kedua itu. Bilamana hal tersebut mereka lakukan, mereka akan dibekali kotak perak atau kotak yang terbuat dari kulit penyu sebagai tempat racun tersebut. Kemudian mereka diberi petunjuk antara lain untuk tidak melawan angin yang mungkin membawa bau racun tersebut. Mereka akan didandani dengan baju kulit yang menutupi dari kepala hingga ke dadanya, dengan lubang yang diberi kaca di bagian matanya dan mengenakan sarung tangan. Konon hanya 2 dari 20 orang saja dari mereka yang berhasil dan dapat kembali dengan selamat.
Dalam buku diatas diceriterakan juga mengenai pengalaman seorang penulis Inggris yang pada bulan Februari 1776 hadir pada waktu hukuman mati dijatuhkan terhadap 13 selir raja Mataram yang dituduh tidak setia. Diceriterakan bahwa pada siang itu kira-kira jam 11.00, mereka digiring ke lapangan terbuka di dalam halaman kraton. Di tempat tersebut hakim menjatuhkan vonisnya dimana mereka diputuskan untuk mati dengan pisau lancet yang telah diracuni getah Upas. Menurut buku tersebut kemudian mereka harus mengaku dan bersumpah bahwa tuduhan yang dijatuhkan terhadap mereka berikut hukumannya adalah adil dan jujur. Hal tersebut mereka lakukan dengan menaruh tangan kanan mereka di atas kitab Al-Quran dan tangan kiri di atas dadanya sambil menengadah ke langit. Hakim kemudian menyodorkan kitab Al-Quran untuk mereka cium. Setelah upacara ini selesai, acara dilanjutkan dengan eksekusi hukuman. Mereka dibawa ke tiga belas tonggak yang masing-masing setinggi 5 kaki dimana mereka diikat dengan dada terbuka. Doa-doa dibacakan sampai tanda mulainya eksekusi diberikan kepada algojo yang mempergunakan semacam keris yang sudah diracuni dengan racun Upas. Dengan senjata ini terhukum disayat di tengah-tengah dadanya, proses ini memakan waktu hanya dua menit. Lima menit kemudian mereka mulai meraung kesakitan yang amat sangat, dan enam belas menit kemudian mereka semua sudah mati. Tubuh mereka penuh bercak-bercak, muka membengkak warna kulit menjadi biru lebam serta bola matanya berubah  warnanya menjadi kuning.
Nyi Tegal Pangalang-alang. Menurut beberapa sumber, Nyi Tegal Alang-alang ini adalah anak dari Pangeran Cakrabuana (uwak dari Syarif Hidayatullah) dengan Nyi Mas Kancana Larang yang dikenal dengan nama Nyi Dalem Pakungwati.

NASKAH MERTASINGA: MASJID AGUNG CARBON MENDAPAT GANGGUAN ( II )

NASKAH MERTASINGA: MASJID AGUNG CARBON MENDAPAT GANGGUAN ( II )
NYI TEGAL PANGALANG-ALANG MEMBANTU PANEMBAHAN RATU 
(pupuh LXVII.09 - LXVII.30)

Dengan telah terjadinya bencana itu, keadaan mesjid menjadi sangat memprihatinkan, karena sekarang tidak bisa lagi dipergunakan untuk sholat. Panembahan sangat risau hatinya lalu segera pergi meminta bantuan kepada neneknya yang berada di Tegal, Nyi Pengalang-alang namanya . Sang nenek berkata, "Ya ini memang pekerjaannya orang tua". Panembahan telah mengetahui adanya guna-guna di memolo / bubungan mesjid itu.
Nyi Pengalang berkata dengan lembut, "Kataku juga apa, guna-guna itu amat saktinya, nenek minta biar aku saja nanti yang mengusirnya. Orang yang sudah tua itu nak, kalau mati itu tidak cerewet. Dan engkau nak, nanti lihatlah saja dari luar mesjid, tidak usah  ikut membantu karena nenek sendiri sanggup menghilangkan guna-guna sakti itu". Panembahan menjawab, "Baiklah nanti nenek saja yang masuk dan hamba akan berada di luar mengawasi".
Begitulah lalu Nyi Gedeng Pangalang-alang mengambil air wudhu, selesai mensucikan diri lalu dia masuk ke bangsal Mesjid Agung dan lalu bersuci sekali lagi untuk menghilangkan kotoran kotoran yang mungkin terlewat, seperti dikatakan dalam ungkapan manuk mabur datan kari lan kurungan nipun   (burung terbang tak tertinggal kurungannya) . Barulah kemudian dia masuk ke dalam mesjid. Di dalam mesjid kemudian dia menyerukan azan dengan suara melengking memekakan telinga. Suaranya bagaikan mengguncang jagat, bumi menjadi bergoyang-goyang dan kemudian terdengar ledakan diatas langit-langit. Ketika terdengar suara azan eyang Gedeng Pangalang-alang yang demikian kerasnya, guna-guna itu terlempar dari pataka mesjid dan menyembur hilang musnah, dan keadaan pun kembali seperti sedia kala. Diceritakan guna-guna sakti itu terlempar jauh dan kemudian masuk ke dalam Gua Upas, gua dimana berkumpul guna-guna lainnya . 
Adapun nenek Pangalang-alang, dengan terlemparnya guna-guna itu ke Gua Upas, dia pun hilang seperti ditelan bumi di tengah-tengah mesjid itu. Nyi Pangalang-alang itu telah hilang dari dunia ini, dia telah pindah ke dunia yang latif (maha halus). Panembahan sangat terkejut menyaksikan hilangnya sang nenek. Si nenek itu masuk jiwa dan raganya meraga-sukma sebagai halnya seorang wali. Semua orang di Pakungwati sudah mengetahui bahwa Nyi Gedeng sudah tiada. Walaupun terjadinya di Mesjid Agung, akan tetapi kuburannya bukan di situ, tempat itu hanyalah sebagai tempat menghilangnya saja.
Kekhawatiran Panembahan sudah berlalu, namun kehawatiran berikutnya adalah mengingat akan nasihat yang diberikan pada waktu jamannya Sinuhun Jati menghukum Syekh Lemabang itu. Ada suara yang mengingatkan bahwa jika telah sampai pada keturunan yang ke sembilan maka anak cucu Sinuhun Jati akan diselingi oleh budi durga (budi jahat), oleh kerbau bule bermata kucing, yang datang dari arah barat. Hal ketiga Panembahan teringat akan kata-katanya Sunan Kalijaga dahulu, bahwa sepeninggalnya Sinuhun Jati maka Mesjid Agung akan terbakar. Diceritakan kemudian bahwa Panembahan Ratu lah kelak yang akan memadamkan kebakaran itu. Hal keempat yang merisaukan Panembahan ialah apabila nanti ada lagi yang membuat keributan seperti ini, lalu siapa yang akan menolong karena si nenek sudah tiada, tidak ada lagi yang dapat diandalkan menjadi tumbal negara, demikian Panembahan berkata dalam hatinya (bersambung).

NASKAH MERTASINGA: MASJID AGUNG CARBON MENDAPAT GANGGUAN ( I )

NASKAH MERTASINGA: MASJID AGUNG CARBON MENDAPAT GANGGUAN ( I )
(pupuh LXVI.20 - LXVII.09)

Seperti telah kita ketahui, Panembahan Ratu adalah seorang raja yang berwatak Aulia. Di mesjid Carbon suara orang-orang yang berzikir selalu terdengar bergemuruh siang dan malam. Waktu itu Mesjid Agung masih satu bangunan saja belum ada serambi di sekelilingnya, dan masih dibatasi tembok. Patakanya terbuat dari perunggu dan bentuknya mencuat tajam.

Kemudian di Carbon tersiar berita yang menggemparkan yaitu datangnya seorang panglima utusan dari Mataram, Gedeng Anis namanya. Setiap tiga tahun dia bertugas untuk berkeliling memeriksa raja-raja bawahan Mataram. Semua negara yang berada di bawah Mataram dikunjunginya untuk diperiksa bahwa di negara itu tidak ada gejala-gejala pemberontakan kepada Mataram. Hal itu dilakukan untuk menjaga jangan sampai adanya raja bawahan yang memberontak kepada kekuasaan Mataram. Pada waktu Ki Gedeng Anis datang memeriksa Pakungwati. Di sana dia melihat ramainya mesjid yang dikunjungi oleh orang-orang mengaji di malam hari. Memang dalam hal penyebaran agama Islam di Carbon jumlah pengikutnya semakin meningkat. Dengan demikian Carbon  bisa menjadi kutub (luhur) kembali, hal tersebut mengkhawatirkan Ki Gedeng Anis. "Jika betul Carbon sekarang mewarisi keluhuran Sinuhun Purba, baiklah aku akan mecobanya", demikian pikir Gedeng Anis. Lalu di waktu malam Ki Gedeng Anis memerintahkan untuk menaruh bruang mandi (guna-guna yang ampuh) di pataka masjid itu. "Jika benar ada yang bisa menawarkannya, aku akan mengakui ke-kutub-an Carbon dan aku akan patuh kepadanya", demikian pikir Ki Anis.

Dengan cara yang amat halus dan tak ada seorangpun yang mengetahuinya, ditaruhnya guna-guna itu. Akibatnya, orang-orang Carbon yang biasa memenuhi mesjid tersebut menjadi merasa kedinginan dan sangat ketakutan. Ternyata tak ada seorangpun yang kuat menahan pengaruh guna-guna itu sehingga mereka bubar dan tak ada lagi yang mau datang ke mesjid. Sepi sudah orang-orang yang mengaji. Ki Gedeng Anis berkata, "Ternyata benar, Carbon sudah tidak mewarisi keluhuran (kutub) lagi". Selesai sudah tugasnya untuk mengamankan negara-negara jajahannya (bersambung).

Kamis, 14 Juli 2011

NASKAH MERTASINGA: PEMBANGUNAN MESJID AGUNG CIREBON

NASKAH MERTASINGA: PEMBANGUNAN MESJID AGUNG CIREBON

SINUHUN JATI MEMBANGUN MESJID AGUNG PAKUNGWATI 
(pupuh XXII.37 - XXII.47)
Sinuhun Gunung Jati berkehendak untuk membangun Mesjid Agung Pakungwati yang kelak akan menjadi pusaka di Carbon. Uwaknya [Pangeran Cakrabuana] diminta untuk mengumpulkan bahan-bahan untuk pembangunan masjid itu. Dari seluruh pelosok negeri telah dikumpulkan kayu yang baik untuk dipakai sebagai tiang. Sunan Rangga sudah mengerti akan keinginan putranya itu. Dengan segera sudah banyak terkumpul kayu-kayu yang diperlukan. Tukangnya berjumlah seratus orang, sebanyak bahan yang ada, atap sirap sudah dipilihi, paku dan batu bata sudah terkumpul di Pakungwati.
Kemudian Sinuhun Jati berkata kepada Syekh Datuk Khapi, "Kakanda Datuk Khapi, tolong tuliskan surat untuk dikirimkan ke negara Banisrail. Sampaikan kepada adinda Nurullah agar mengupayakan kayu Jati. Mintalah yang utama, yang panjang, untuk dijadikan sakagurunya. Hanya empat buah saja yang kubutuhkan,  satu tiang saka dari Mesir sebagai sumbangannya Babu Dampul, satu dari Banisrail sebagai sumbangannya adinda Nurullah, satu lagi dari Bagdad sebagai sumbangan dari Datuk Khapi, dan satu lagi dari Surandil sumbangan dari Syekh Benthong. Segera Datuk Khapi menulis surat tersebut dan mengirimkannya. Sementara itu yang membangun terus bekerja, sambil menunggu datangnya kiriman keempat kayu sakaguru  dari negara Arab.

PENYELESAIAN MASJID AGUNG CARBON 
(pupuh XXVIII.13 - XXVIII.15)
Setibanya Sinuhun Jati di Dalem Agung, beliau berkehendak untuk segera mendirikan mesjid yang patakanya sudah didirikan. Semua wali sangat bersemangat dalam membantu pembangunan mesjid ini. Mereka telah mendirikan rangkanya bersama-sama. Ketika keesokan harinya diperiksa terjadi lagi perselisihan mengenai arah Kiblat. Sebagian mengatakan kurang ke selatan, lainnya mengatakan kurang ke utara dan lainnya lagi mengatakan sudah tepat arah kiblat itu. Sehingga kerangka mesjid itu diangkat dipindah-pindah berubah arah setiap kali terdengar pendapat baru. Demikian berlangsung tak habis-habisnya. Sunan Kalijaga kembali memberikan penyelesaiannya seperti yang dilakukannya waktu di Demak.

SASMITA MESJID AGUNG CARBON 
(pupuh XXVIII.15 - XXVIII.21)
Setelah selesai pembangunan mesjid Agung Carbon semua Wali memanjatkan puji syukur dan para Wali melakukan sholat Subuh. Setelah sholat Sunan Kalijaga membuat sasmita/isyaratnya mesjid ini : Sang gligir manik pethak, putra jagat bawur, bawuring wong timbul tatal, timbul aning ngaliwung awang nguwung, sageb ana waniya. Sarta takutana dadi sarta wani, sampurnaneng jagat sedaya, sangang ngatus ya kathahe, punjule patang puluh, kalawan lelima puniki.
Waktu itu usia Sinuhun Jati 113 tahun. Kemudian para Wali memberikan sumbangan-nya untuk mesjid ini. Sunan Bonang menyumbangkan satu tikar yang digelarkan di sebelah utara, Syekh Benthong menyumbang satu tikar yang berasal dari Medinah dan digelarkan di paimaman yang di sebelah utara, Sunan Jati menyumbang satu tikar yang berasal dari Pulau Majeti dipasang di tengah paimaman. Sunan Kalijaga menyumbang satu tikar yang digelarkan di sebelah utaranya tikar Sunan Purba. Pada waktu itu semua wali bergantian menjadi Imam shalat Jum'at di Mesjid Agung. Pangeran Makdum yang menjadi Juru komat sholat Jum'at. Pangeran Datuk Khapi, yang memegang waman ah sannun-nya (yang mengatur mesjid dalam hal jadwal, shaf, dsb), Tuan Jopak, dan Tuan Bumi. Yang melayani : Sunan Panggung, Tuan Puti, Pangeran Kajoran, bersama Pangeran Drajat. Pangeran Kajoran tanggung jawabnya memegang inalaha (hukum-hukum). Semuanya ini diatur dengan persetujuan para wali.

Catatan penterjemah:
1.      Pembangunan Mesjid Carbon menurut babad ini dibangun pada waktu Sunan Gunung Jati berusia 113 tahun, atau diperkirakan pada tahun 1561 M.
2.      Menurut sebuah catatan dalam naskah lama lain disebutkan bahwa sesuai dengan persetujuan wali, Masjid Agung Carbon diberi nama Sang Ciptarasa, momolonya diberi nama (tidak terbaca), beduknya diberi nama Sang Guru Mangi, mimbarnya diberi nama Sang Srangenge, mikrodnya diberi nama Jubled.

Minggu, 10 Juli 2011

NASKAH YANG SUDAH DITERBITKAN

Buku terjemahan dari naskah lama yang selesai ditulis pada tahun 1889 M pada masa pemerintahan Sultan Syamsuddin II dari Kasepuhan. Naskah asli ditulis dengan tulisan Arab pegon dalam bahasa Cirebon / Sunda / Jawa Kuna. Buku alih aksara dan bahasa dilengkapi silsilah ini mengisahkan babad mengenai Sunan Gunung Jati. Kisah terlengkap mengenai SGJ yang ada. Dengan Kata Pengantar dari sultan Sepuh Kasepuhan dan Dr. Uka Tjandrasasmita. 526 halaman.

Buku terjemahan dari naskah lama mengenai ajaran2 yang diperoleh SGJ, melengkapi buku yang pertama. Bilamana buku pertama banyak berisi mengenai sejarahnya maka dalam buku ini lebih pada uraian-uraian mengenai ajaran Tasawuf, khususnya mengenai ajaran Tarekat Syatoriah dan utamanya dalam paham wahdatul wujud. Hal ini tidak mengherankan karena naskah ini merupakan bagian dari sebuah naskah lama yang berisikan pelajaran mengenai tarekat tersebut. Naskah ini selesai ditulis pada 4 April 1880 M. Dalam buku ini  dicantumkan baik alih aksaranya dari tulisan arab kedalam huruf latin, dan terjemahannya, beserta beberapa catatan kaki untuk melengkapi. 196 halaman.


Terjemahan dari naskah lama "Waosan Babad Galuh" (Naskah Kraton Kasepuhan Cirebon), mengenai babad raja-raja Pajajaran dari Prabu Ciungwanara hingga Prabu Siliwangi, hingga anak keturunannnya. Dilengkapi dengan silsilah keturunannya. 429 halaman.

DALAM PROSES PENYELESAIAN:





NASKAH MERTASINGA – PERTALIAN FALATEHAN DENGAN RAJA-RAJA CIREBON ( II )

PERNIKAHAN CUCU SUNAN GUNUNG JATI 
(pupuh LVI.04 - LVI.13)
Dikisahkan Sinuhun Gunung Jati ingin mempertemukan cucu lelaki yang dari anak lelakinya dengan cucu perempuan dari anak perempuannya. Yang laki-laki yaitu Pangeran Carbon anaknya Pangeran Pasarean, sedangkan cucu perempuannya yaitu Ratu Wanawati anaknya Tubagus Pase. Walaupun keduanya belum dewasa akan tetapi atas permintaan Sinuhun keduanya segera dinikahkan.
Pada waktu itu yang menjadi saksi ialah Sunan Kalijaga dan Pangeran Makdum. Tubagus berkata, "Telah kuterima hukumnya Allah, aku nikahkan anakku yang bernama Ratu Wanawati yang masih gadis ini, untuk dipertemukan dengan cucu lelaki ayahanda yang bernama Pangeran Carbon. Dengan mas-kawinnya mempunyai anak yang kelak akan mati syahid". Sunan Gunung Jati segera mengabulkan pernikahan itu, "Aku sudah terima nikahnya cucu perempuan yang lahir dari anak perempuanku dengan cucu lelaki yang lahir dari anak lelakiku dengan mas kawinnya anak lelaki yang bersedia menjadi anak yatim".
Sinuhun lalu membaca doa yang diamini oleh semuanya. Yang hadir pada waktu itu ialah Raja Lahut, Ratu Winahon, serta dari Pajajaran datang sang uwak Rangga Pakuan [Pangeran Cakrabuana]. Kedua pengantin ini terlihat lucu sekali karena umurnya yang lelaki baru akan berusia lima tahun sedangkan yang perempuan baru akan berusia tiga tahun. Begitulah upacaranya diadakan di Mesjid Agung Carbon. Pada waktu itu yang menjadi imam di Mesjid Agung bergantian, Sinuhun Gunung Jati dan Sunan Kalijaga. Pangeran Makdum waktu itu masih menjadi Juru komat. Syekh Datuk Khapi yang azan, sedangkan yang menjadi waman ah'sanun yaitu Modin Jati, Sunan Panggung, Buyut Panjunan, Lebe Juriman dan Pangeran Janapuri, sedangkan orang yang ketujuh itu dipilih dari salah seorang santri.

PEMERINTAHAN CARBON SETELAH WAFATNYA SINUHUN GUNUNG JATI 
(pupuh LVIII.06 - LVIII.08)
Sekarang di Dalem Agung dan juga di Gunung Sembung tinggal Sunan Kalijaga sendirian yang memimpin. Tubagus Pase setiap Jumat menjadi imam dan merangkap sebagai wakil utama dari raja, sebab cucu Sinuhun, Pangeran Carbon, masih belum dewasa.  Saat itu Pangeran Carbon baru berumur enam tahun, dan yang menjadi wakil raja ialah Pangeran Makdum dan Tubagus Pase karena Sunan Kalijaga sudah tidak bersedia lagi. Di Masjid Pakungwati waktu itu yang melakukan komat ialah Syekh Datuk Khapi, karena Modin Jati sudah tidak mampu lagi. Sedangkan yang melakukan waman ah'sanun digantikan oleh Ki Syekh Badiman, dan sorog wedi-nya (pemegang kunci) masih sama seperti dahulu pada jamannya Sinuhun Jati.
[Waman ah’sanun, ungkapan bahasa Arab yang berarti “orang-orang yang terbaik”. Azan di Mesjid Agung Carbon dilakukan oleh 7 orang, waman ah’sanun ini adalah penyeru azan ke-2 hingga yang ke tujuhnya].

PANGERAN AGUNG DINOBATKAN BERGELAR PANEMBAHAN RATU 
(pupuh LXII.08 - LXII.13)
Kemudian dikisahkan, Sunan Kalijaga, Tubagus Pase, bersama Pangeran Agung kembali ke Kraton Pakungwati. Setelah sampai di Kraton lalu dirundingkan mengenai penobatan Raja Pakungwati. Maka kemudian Pangeran Agung dinobatkan menjadi penguasa di Carbon bergelar Panembahan Ratu.  Dengan demikian sepeninggal Sinuhun Aulia baru sekarang kekuasaan di Carbon dipegang lagi oleh cucunya Panembahan Ratu dan Tubagus Pase diangkat menjadi wakil raja.
Pada suatu ketika Sunan Kalijaga ingin menengok buyutnya Sinuhun Jati, yang berada di Gebang yang bernama Pangeran Prawirasuta. Dari Gebang Sunan Kalijaga pergi ke Losari untuk menengok cucu lainnya yang diangkat anak oleh Dalem Tumenggung, bernama Pangeran Wirya, yang dinobatkan dengan gelar Panembahan sebagai penguasa di Losari. Diceritakan Sunan Kalijaga dari Gebang dan Losari kembali pulang, tidak diceritakan perjalanannya wali telah tiba kembali di Pakungwati.

Catatan:
Panembahan Ratu memerintah dari tahun 1568 s/d tahun 1649, sebelumnya dari tahun 1552 s/d 1568 (setelah wafatnya Pangeran Pasarean) Kesultanan Carbon kosong dan diwakili oleh Tubagus Pase menunggu Pangeran Agung/Panembahan Ratu dewasa. Dari perkawinan Panembahan Ratu dengan Ratu Mas Pajang, anak Jaka Tingkir, Sunan Pajang, menurunkan Pangeran Dipati Carbon II/Pangeran Sedang Gayam, yang kemudian menurunkan Pangeran Girilaya yang menurunkan Pangeran Sepuh dan selanjutnya. Setelah bab diatas, naskah ini tidak lagi menceriterakan lagi mengenai Tubagus Pase, namun sumber lain menyebutkan bahwa beliau wafat pada tahun 1570 dan dimakamkan di Gunung Sembung, Cirebon.

NASKAH MERTASINGA – PERTALIAN FALATEHAN DENGAN RAJA-RAJA CIREBON ( I )

Nama Fatahillah atau Falatehan tidak terlepas dari sejarah kota Jakarta dan perlawanan bangsa ini melawan Portugis. Sejarah mencatat prestasinya merebut Sunda Kelapa dan menglahkan Portugis pada tahun 1527 dan memberikan nama baru Jayakarta atau kota kemenangan.
Sebelumnya nama Falatehan diidentikan dengan Sunan Gunung Jati, namun kemudian dengan diketemukannya bukti-bukti baru diakui bahwa dua nama ini adalah nama dari dua orang yang berbeda. Dalam naskah ini tidak tercantum nama Fatahillah atau Fallatehan namun dari jalannya kisah kita dapat mengambil kesimpulan bahwa yang dimaksud adalah tokoh dalam naskah ini yang disebut Tubagus Pase. Dalam naskah ini juga tidak dikisahkan mengenai peperangan-peperangnnya melawan penjajah, namun lebih kepada kekerabatannya dengan keluarga raja-raja Demak  dan Cirebon.

KEDATANGAN TUBAGUS PASE DI CARBON 
(pupuh LIV.08 - LIV.15)
Dikisahkan ada seseorang yang datang dari seberang, yang bernama Tubagus Pase [Pasai, sebuah kerajaan Islam di Aceh ]. Dia datang membawa bala tentara sebanyak empat puluh orang sebagai pengawalnya. Semula kedatangannya dengan maksud ingin mencoba ilmunya orang Jawa dan dia ingin tahu bagaimana pangamalan agama Islam di Carbon. Akan tetapi dengan keramatnya Sinuhun, setibanya orang seberang itu di hadapan Sinuhun Jati hilang musnah keangkuhannya. Dia datang kehadapan Sinuhun Jati dengan rendah hati dan dengan menundukan wajahnya
Dalam pertemuan ini dia melihat Ratu Ayu Dewi, yang telah menggerakan hatinya. Sinuhun mengetahui apa yang terjadi maka kemudian putrinya dipanggilnya. Semula Ratu Ayu Dewi menolak kehendak ayahandanya itu, akan tetapi setelah lama dibujuk akhirnya dia menyetujuinya. Lalu Sinuhun berkata kepada Tubagus, "He anak dari seberang, akan kuberikan anakku yang bernama Ratu Ayu Dewi, untuk menjadi istrimu dengan mas-kawinnya anak dari yang telah mati syahid itu". [Dalam bab sebelumnya telah dikisahkan mengenai Ratu Ayu Dewi sebagai janda dari Sunan Demak II – Pangeran Sabrang Lor].
Tubagus menyetujuinya dan berkata, "Ayahanda, hamba setuju nikahnya sang puteri dengan mas kawin seperti apa yang telah disebutkan yakni memperoleh anak yang ditinggal mati syahid". Dengan disaksikan oleh para Aulia, pernikahan Tubagus berlangsung sudah. Tidak diceritakan lamanya, kemudian mereka mempunyai anak perempuan yang amat cantik yang diberi nama Ratu Ayu Wanawati. Anak yang amat dikasihi oleh ayahandanya, Tubagus Pase. Bilamana Tubagus Pase pergi berlayar menengok sanak keluarganya, maka dari tanah seberang Tubagus Pase pulangnya diiringi oleh burung dari tanah Pasai, yaitu Burung Pasai, yang  konon di tanah Jawa masih serumpun dengan burung Kokok Beluk [Burung Hantu, burung Elang malam, keluarga Strigiformes].

ANAK KETURUNAN TUBAGUS PASE DARI RATU AYU WANGURAN
 (pupuh XXXV.20 - XXXV.23)
Begitulah dikisahkan anak Sinuhun Jati yang bernama Ratu Ayu Wanguran, istri almarhum Sultan Demak (II) berada kembali di Carbon dengan membawa warisan berupa Gamelan Sokati, itulah asal mulanya keberadaan gamelan tersebut di Carbon. Pada suatu ketika ada seorang pendatang dari negara Pasai yang bernama Tubagus, yang konon menurut ceritera darahnya berwarna putih. Dia kemudian diangkat mantu oleh Sinuhun dengan putrinya yang telah menjadi janda dari Sultan Demak itu. Setelah berkumpul para wali, segera dilangsungkan pernikahan anaknya dengan Tubagus Pasai. Dikisahkan kemudian Tubagus Pase dengan Ratu Ayu mempunyai anak lima  orang yaitu :
1.       Anak sulung, perempuan yang bernama Ratu Wanawati, yang kemudian menikah dengan saudara misannya bernama Pangeran Dipati. Kelak mempunyai anak yang bergelar Panembahan Ratu, Panembahan yang waktu mudanya bernama Pangeran Agung.
     2.      Ratu Nyawa.
     3.      Pangeran Agung.
     4.      Ratu Sewu.
     5.      Ratu Agung.

Catatan:
Tubagus Pase, atau yang kemudian dikenal sebagai Falatehan atau Fatahillah, pernikahannya dengan anak Sunan Gunung Jati, Ratu Ayu Wanguran, janda Sultan Demak (II) menjadikannya ‘ipar’ dari Sultan Demak (III) sebagaimana disebutkan dalam catatan-catatan  Portugis. Sebagaimana juga disebutkan dalam catatan Portugis, dia pun menjadi penguasa Carbon ketika mewakili cucunya sebelum menginjak dewasa. Keturunan dari Tubagus Pase dengan Ratu Ayu Wanguran ini lah yang menurunkan raja-raja Carbon selanjutnya. (bersambung).

Senin, 04 Juli 2011

NASKAH MERTASINGA - WAFATNYA SUNAN GUNUNG JATI (II)

WAFATNYA SUNAN GUNUNG JATI - Bagian II
 (pupuh LVI.13 - LVIII.06)

Dedaunan jatuh berguguran, hewan-hewan berbunyi saling bersahutan, air bergelora dan lautan menjerit bergemuruh bergantian dengan gempa yang bergetar dengan suara yang menakutkan. Alam dunia bagaikan akan roboh, batuan krikil bergemeletuk dan terdengar suara beraneka macam. Tanah menjadi gembur dan seluruh isi hutan riuh berbunyi. Bergelegar suara gunung, bergema berkumandang di langit. Sang surya panas membara, sang bulan begitu pula. Semua yang ada di dunia bagaikan menangis. Tidak lama kemudian turun para malaikat dari langit ke atas Gunung Jati. Para malaikat itu kemudian membawa jenazah Sinuhun  naik ke langit.
Setelah tersiar berita duka cita itu, para santri dan para sanak saudara semua menangis dengan sedihnya, mereka bingung ketika mengetahui bahwa jenazah Sinuhun telah tiada. Suasana saat itu hiruk pikuk, canang Ki Bicak berbunyi bertalu-talu tanpa ada yang menabuh. Para santana mantri semuanya pergi menuju ke Gunung Sembung. Yang pergi ke Gunung Jati, hanyalah Sunan Kalijaga, Syekh Datuk Khapi, dan Pangeran Makdum saja. Ketika mereka tiba di situ jenazahnya sudah tidak ada, yang tinggal tergeletak di tanah hanyalah wangkingan (ikat pinggang) dan jubah Sinuhun saja. Begitulah Sunan Kalijaga segera menyingsingkan lengan bajunya untuk menggali liang lahat. Syekh Datuk Khapi datang dan minta untuk menggantikan, demikian juga halnya dengan Pangeran Makdum. Akan tetapi Sunan Kali berkata, "Biarlah kalian jangan ikut-ikut, biar aku sendiri saja yang menguburkan pakaian itu". Akhirnya selesai sudah pakaian Sinuhun dikuburkan di sana dengan sempurna, yaitu di Gunung Kentaki yang di sebelah timur itu. Akan tetapi bentuk kuburannya tak terlihat karena diratakan lagi dengan tanah. Hanya tandanya ialah bahwa tak akan ada daun yang jatuh keatas kuburan ini.
Sementara itu Tubagus Pase datang ke Gunung Kentaki yang di sebelah barat bersama para sentana mantri. Mereka berkumpul di tempat itu dan mereka menemukan bahwa jenazah sudah tidak ada lagi, yang masih ada di sana hanya Keris Naga dan Tasbih Sinuhun. Sang keris menggelantung di udara, merah membara bagaikan bintang jatuh, sedangkan tasbihnya kemudian dikuburkan di bumi mulia. Tempat itu kemudian direka-reka menjadi berbentuk makam, di Gunung Sembung. Terkenal diantara rakyat kecil bahwa Sinuhun Aulia, dimakamkan di Gunung Jati yang di sebelah Barat itu, di tempat mana dahulu beliau tinggal. Adapun Nyi Mas Putri Jangkung, kemudian tinggal disana menunggui kuburan suaminya dengan penuh kasih sayang. Adapun Keris Sangyang Naga kemudian terbang melesat ke langit bagaikan bintang dan jatuh masuk ke Dalem Agung, dan Keris Sangyang Naga itu menghilang disana.

Catatan: Mengenai waktu wafatnya Syarif Hidayatullah, ada beberapa pendapat. Dalam History of Java ditulis bahwa Syarif Hidayatullah wafat pada tahun 1428 Saka (1506 M) dalam "usia yang sangat lanjut", tahun tersebut tidak tepat karena pada waktu perang dengan Galuh Pajajaran (Bab XXII) dimana Sunan Gunung Jati masih berperan. Dalam Negarakertabhumi, dan demikian juga dalam Purwaka Caruban Nagari bahwa Syarif Hidayatullah wafat pada tanggal 11 Kresna-paksa, bulan Badramasa tahun 1490 Caka (1568 M), Sumber lainnya menyebutkan bahwa Sunan Gunung Jati wafat pada tanggal 12 bagian terang, bulan Badra tahun 1490 Saka atau 19 September 1568 M.

NASKAH MERTASINGA - WAFATNYA SUNAN GUNUNG JATI (I)

WAFATNYA SUNAN GUNUNG JATI – Bagian I  
(pupuh LVI.13 - LVIII.06)

Diceritakan kemudian bahwa pada suatu hari Sinuhun Gunung Jati berkeinginan untuk menyendiri di tempat yang sepi. Sinuhun pergi dengan membawa serta kerisnya Sangyang Naga. Sinuhun sudah mengetahui bahwa ajalnya sudah mendekat. Dia pergi ke Gunung Jati dan duduk bertafakur disana, di Gunung Jati yang di sebelah timur itu. Kemudian Sinuhun menulis surat dengan menggunakan daun sebagai kertasnya, surat itu ditujukan kepada anaknya di Banten yang isinya berbunyi, "He Sunan Sebakingkin, itu cucumu yang bernama Kapil [nama panggilan untuk Maulana Muhammad] suruhlah dia pergi menunaikan ibadah haji, sebab dialah yang  kelak akan menjadi raja. Sepulangnya menunaikan ibadah haji, segeralah dinobatkan, karena setelah itu engkau dan demikian juga anakmu tidak akan lama memerintah. Oleh karena itu Muhammad Kapil besok yang akan menjadi raja dan yang akan mendapatkan wasiatnya Nabi".
Daun itu digulung dan diikatkan pada keris yang kemudian melesat terbang ke angkasa. Keris itu terbang dengan cepat, cahayanya terang bagaikan andaru (bintang jatuh) di tengah malam. Sesampainya di Banten keris itu turun di istana Banten. Semua yang ada di Dalem Puri terkejut melihatnya, mereka mengira bahwa ada bintang jatuh. Keris tersebut jatuh di hadapan Pangeran Sebakingkin. Dengan penuh ketakjuban Sunan Banten melihat keris yang jatuh di hadapannya itu, dia mengetahui bahwa itu adalah Keris Sangyang Naga milik ayahandanya. Segera surat itu dibacanya, yang isinya minta agar cucunya disuruh naik haji.
Sunan Banten menyetujui keinginan wali, ayahandanya, dan Sunan Banten pun segera membuat surat balasannya. Surat balasan itu ditulis diatas kertas perak dan bertuliskan dengan tinta emas indah. Isi suratnya berbunyi, "Ayahanda wali, sang cucu akan hamba suruh menunaikan ibadah haji, pesan akan ananda laksanakan". Setelah selesai ditulis, kemudian surat itu dibungkus dengan kesturi wulung, dan diikatkan kembali pada keris itu. Sang keris pun segera terbang lagi ke angkasa bagaikan burung, dan tidak dikisahkan perjalanannya, keris itu telah tiba kembali di Gunung Jati. Tibanya pada waktu tengah malam, Sinuhun melihat surat balasan yang ditulis dengan amat indah. Sinuhun berkata, "Inilah ciri dari kesombongan dan hati yang takabur. Seberapa lamanya kita dalam hidup ini akan berkuasa, pasti tidak akan selamanya. Lama kekuasaan keturunanku di Banten kelak tak akan lebih dari sembilan keturunan".
Setelah berkata demikian, Sunan Gunung Jati lalu merebahkan dirinya di tanah sambil melipat tangan diatas dadanya. Dia berbaring di tanah beralaskan daun Rudamala, dan berbantalkan batu. Kepalanya berada di arah timur sedangkan kakinya di arah barat, seperti layaknya tengah melakukan shalat. Ketika tiba waktunya makan sahur, Sinuhun Gunung Jati meninggal dunia. Pada waktu itu Sinuhun usianya genap seratus dua puluh tahun.  Sunan Kalijaga segera memberitahukan berita duka cita itu kepada seluruh sanak keluarga. Semua telah diberitahu bahwa Sinuhun Jati telah meninggal di Gunung Kentaki. Sebagai pembawaan seorang Wali utama, alam dunia ikut berduka cita atas kepergiannya (bersambung).

Minggu, 03 Juli 2011

NASKAH MERTASINGA - SYNOPSIS


NASKAH MERTASINGA - SYNOPSIS

Judul Buku                    :  Sajarah Wali Syekh Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati
                                         (Naskah Mertasinga)
Alih aksara dan bahasa  :  Amman N. Wahju, 2005
Penerbit                         :  Penerbit PUSTAKA
                                        Jl. Penghulu Haji Hasan Mustafa No. 121, Telp 022-7210778,022-    
                                        7103616, Bandung, 40125
Tebal                              : 524 halaman.
ISBN                              : ISBN 979-3511-18-4

Naskah ini adalah alih bahasa dari sebuah babad, ditulis berupa rangkaian dari pupuh-pupuh yang berjumlah sebanyak 87 pupuh (dengan 1918 saleh / bait dan 14.478 padan/baris) ditulis dalam aksara Arab Pegon dalam bahasa Jawa Kuno dengasn dialek Cirebon dan Sunda. Naskah asli dari babad ini ini merupakan pusaka yang disimpan beberapa generasi di keluarga penyusun

Naskah ini berisi babad yang menceritakan :
1.      Sejarah Wali Sunan Gunung Jati yang dimulai dari keberangkatan anak raja
      Pajajaran ke Mesir hingga kelahiran Syarif Hidayatulluah dan perjalanan-
      perjalanannya serta anak keturunannya hingga Sultan Syamsuddin (1880).
2.      Sejarah Wali Sanga, pertemuan-pertemuannya dan beberapa ajarannya.
3.      Sejarah Kerajaan Islam Cirebon, Demak, Banten dan Kerajaan Mataram.

Naskah selesai ditulis pada tahun 1880, yang terlihat dari akhir dari penulisannya mengenai wafatnya Sultan Sepuh Syamsuddin II dari Kasepuhan.  Dalam buku ini  dicantumkan baik alih aksaranya dari tulisan arab kedalam huruf latin, dan terjemahannya, beserta beberapa catatan kaki untuk melengkapi.

NASKAH MERTASINGA - DAFTAR ISI



DAFTAR ISI


DAFTAR GAMBAR, PETA DAN BAGAN      

DAFTAR SINGKATAN KATA-KATA     

KATA PENGANTAR   

PRAKATA     

PENDAHULUAN    


Bagian - I :   ALIH AKSARA NASKAH  “SAJARAH WALI”.          

Bagian - II :  ALIH BAHASA NASKAH “SAJARAH WALI”.  

 

MASA SEBELUM MENJADI SUNAN GUNUNG JATI


Bab-I    Kelahiran Syarif Hidayatullah


01.  Silsilah raja Banisrail     
02.  Pertemuan anak raja Pajajaran dengan Sultan Banisrail.     
03.  Sultan Banisrail melakukan perjanjian dengan Dewi Rara Santang
04.  Perkawinan Sultan Banisrail dengan Dewi Rara Santang.    
05.  Kelahiran Syarif Hidayatullah dan adiknya Nurullah.   

Bab-II   Pangeran Cakrabuana diangkat menjadi Arya Carbon


01.  Pangeran Cakrabuana kembali ke Jawa.    
02.  Pangeran Cakrabuana diangkat menjadi Arya Lumajang.    
03.  Kedatangan rombongan anak Sultan Bagdad di Carbon.   

Bab-III  Syarif Hidayatullah menjadi Wali Khutub


01.  Syarif Hidayatullah meninggalkan istana.   
02.  Mengunjungi makam Nabi Sulaiman.  
03.  Syarif Hidayatullah terdampar di Jabal Kahfi.    
04.  Syarif Hidayatullah bertemu dengan Nabi Khidir.  
05.  Syarif Hidayatullah bertemu dengan Nabi Muhammad S.A.W.   
06.  Kembali ke negeri Banisrail.
07.  Nasihat Nyi Mudaim kepada Syarif Hidayatullah.    

Bab-IV   Syarif Hidayatullah pergi ke Baitullah dan mencari guru yang mursid


01.        Meninggalkan Banisrail.
02.      Berguru kepada Syekh Najmurini Kubra di Mekkah, mendapat nama Madkurallah
03.      Berguru kepada Syekh Muhammad Aretullah di Sadili, mendapat nama Arematullah
04.      Belajar Tarekat Anapsiah di Pasai, diberi nama Abdul Jalil.
05.      Syarif Hidayatullah tiba di Krawang bertemu dengan Syekh Benthong.
06.      Bertemu dengan Syekh Haji Jubah.
07.      Belajar Tarekat Jauziyah Madamakhidir kepada Datuk Barul, diberi nama Wujudullah.
08.      Belajar pada Sunan Ampel Denta. Pertemuan dengan Wali-wali lain.

Bab-V    Syarif Hidayatullah menetap di Gunung Sembung


01.      Pertemuan dengan Patih Keling.  
02.     Menetap di Gunung Sembung dan perjumpaan dengan sanak keluarganya
03.      Kedatangan Babu Dampul dari Mesir.     
04.      Pertemuan dengan Dipati Cangkuang.     
05.      Mengunjungi Pangeran Makdum, adik Syekh aulana Magribi.   
06.      Syarif Hidayatullah menikahi Nyi Mas Babadan.       
07.      Patih Pajajaran beserta prajuritnya menjadi murid di Gunung Jati.    
08.      Kisah Ki Sangkanurip.   

Bab-VI Akhir dari kerajaan Galuh Pajajaran


01.  Prabu Pajajaran meninggalkan singasananya
02.  Kisah putri Pajajaran yang tertinggal
03.  Keadaan anak-cucu Pajajaran setelah kepergian sang raja

Bab-VII  Syarif Hidayatullah kembali ke Banisrail


01.  Syarif Hidayatullah menobatkan adiknya di Banisrail
02.  Berjumpa dengan raja Jamhur
03.  Syekh Maulana mengunjungi negara Cina
04.  Patih Sampo Talang menetap di Palembang
05.  Putri Anyon Tin meninggalkan Cina

Bab-VIII  Syarif Hidayatullah kembali ke Gunung Jati


01.      Syekh Maulana kembali ke Gunung Jati
02.      Kunjungan Pangeran Makdum dan Sunan Kalijaga ke Gunung Jati.
03.     Syekh Maulana tiba kembali di Gunung Jati                      
04.     Kedatangan rombongan putri Cina
05.     Memperoleh dua putra dari Rara Jati
06.     Pangeran Karang Kendal

Bab-IX  Pajajaran sepeninggal Prabu Siliwangi


01.     Syekh Maulana memeriksa sisa-sisa kraton Pajajaran. 
02.    Pertemuan dengan nenek Nyi Sumbang Karancang
03.    Pucuk Umun masuk agama Islam
04.    Raja Lahut diangkat menjadi Pangeran Jaketra
05.    Kisah pembalasan dendam Dewi Mandapa  
06.    Syekh Maulana mengunjungi neneknya di Banten, diberi nama Syekh Maulana Akbar.   
07.    Syekh Maulana menikah dengan Putri Kawunganten
08.    Arya Lumajang menjadi raja Pakuan dengan gelar Suhunan Ranggapaku.
09.    Syekh Maulana Kabir kembali ke Gunung Jati.  
10.    Kisah Ki Gedeng Junjang

Bab-X  Syarif Hidayatullah menjemput ibundanya


01.  Syekh Maulana menjemput ibundanya di Banisrail
02.  Kunjungan Pangeran Panjunan ke Gunung Jati

Bab-XI  Kisah Raden Patah


01.  Raden Patah dan Raden Husen belajar di Ampel Denta
02.  Sunan Ampel melarang Raden Patah menyerang Majapahit. 
03.  Raden Patah mendirikan pesantren di Bintara.     


MASA PEMERINTAHAN SUNAN GUNUNG JATI


Bab-XII    Syarif Hidayatullah dinobatkan menjadi Sinuhun Gunung Jati

01.  Syekh Maulana membawa ibundanya kembali ke Gunung Jati.
02.  Persinggahan di Cempa
03.  Syekh Mustakim mengenai silsilah Wali-wali di Jawa
04.  Syekh Maulana tiba kembali di Gunung Sembung
05.  Pertemuan Pangeran Panjunan dengan Syekh Maulana
06.  Pangeran Panjunan mengasingkan diri ke Wringin Pitu
07.  Syekh Maulana memperistri Nyi Rara Tepasan.  
08.  Penobatan Syekh Maulana menjadi Kanjeng Sinuhun Jati
09.  Sinuhun Jati membangun Mesjid Agung Pakungwati.

Bab-XIII   Musyawarah Walisanga dan pembangunan mesjid


01.    Walisanga menghadiri wafatnya Sunan Ampel
02.    Perdebatan para Wali dengan Syekh Lemabang
03.    Walisanga membangun Mesjid Agung Demak. 
04.    Arya Bintara mempersiapkan penyerbuan ke Majapahit.    
05.    Sunan Kalijaga membuat sakaguru Mesjid Demak
06.    Perdebatan Walisanga mengenai kiblat Mesjid Demak.
07.    Baju Antakusumah.
08.    Mesjid Agung Demak

Bab-XIV  Berdirinya kerajaan Demak


01.     Peperangan Walisanga dengan Majapahit
02.    Prabu Brawijaya meninggalkan singasana Majapahit.
03.    Pasukan Demak mengalahkan Majapahit
04.    Arya Bintara dinobatkan menjadi Sultan Demak Abdul Patah
05.    Adipati Teterung menyerahkan diri kepada Sunan Kudus. 
06.    Riwayat Jaka Tingkir yang menjadi Sultan Agung Pajang.
07.    Riwayat Raden Behi pendiri Mataram
08.    Riwayat Kertasura
09.    Walisanga  meninggalkan Demak dan pergi ke Carbon

Bab-XV   Beberapa peristiwa di Carbon dan Demak (I)

01.     Musyawarah Wali yang kedua di Gunung Carme
02.    Pernikahan Pangeran Pasarean dengan Ratu Dewi
03.    Kedatangan orang Keling di Desa Pilang
04.    Penyelesaian Masjid Agung Carbon
05.    Sasmita Mesjid Agung Carbon
06.    Batalnya Pangeran Makdum menjadi wali
07.    Sultan Demak-I wafat digantikan oleh Pangeran Sabrang Lor.

Bab-XVI   Batas Carbon dan pembagian kerajaan Pajajaran


01.     Batas-batas Carbon pada jaman Sunan Gunung Jati
02.    Pembagian Kerajaan Pajajaran

Bab-XVII  Hubungan Demak dan Carbon


01.     Wafatnya Pangeran Sabrang Lor, Sultan Demak-II
02.     Hubungan kekeluargaan antara Demak dengan Carbon, dan Banten
03.    Perkawinan Pangeran Bratakelana dengan Ratu Nyawa, putri Sultan Demak III
         

Bab-XVIII  Beberapa peristiwa di Carbon


01.    Walisanga berzikir di Mademangun
02.    Pemberontakan Patih Genden

Bab-XIX  Walisanga menghukum Syekh Lemabang


01.     Musyawarah ilmu para Wali yang ke tiga  
02.     Sinuhun Jati dan tamu dari Mataram
03.     Sinuhun Jati memperoleh Keris Sangyang Naga
04.    Syekh Lemabang dijatuhi hukuman

Bab-XX  Beberapa peristiwa di Carbon dan Demak (II)

01.     Pangeran Bratakelana meninggal
02.     Ratu Nyawa dinikahkan dengan Pangeran Pasarean
03.     Keturunan Pangeran Pasarean
04.     Tubagus Pasai menikah dengan anak Sunan Gunung Jati
05.    Keturunan Panembahan Losari
06.    Keturunan Pangeran Sebakingkin
07.    Sunan Gunung  Jati  kehilangan  Pangeran Karang Kendal. 
08.    Pembangunan mesjid-mesjid di Carbon
09.    Pejabat-pejabat pemerintahan di Carbon
10.    Kisah Pangeran Puti dari Bantar Kapetakan.   
11.    Wafatnya Sultan Trenggana dan Kisah Arya Jipang

Bab-XXI  Kisah Arya Kuningan (I)

01.    Kisah Ki Gedeng Plumbon dan Ki Gedeng Kamuning
02.    Ki Gedeng Plumbon memperoleh nama Pangeran Cigugur

Bab-XXII  Kisah Arya Kuningan (II)

01.     Pertempuran Arya Kuningan dengan Arya Gumiringsing dari Palimanan.
02.    Pertempuran Arya Kuningan dengan Dalem Kiban
03.    Sumpah Arya Kuningan
04.    Dalem Kiban menyerang Gunung Jati
05.    Pertempuran Arya Pandelegan dengan Dalem Kiban.  
06.    Hilangnya Dalem Kiban beserta pengikutnya
07.    Akhir pertempuran
08.    Arya Kuningan gagal menyerbu Dermayu
09.    Sumpah Arya Kuningan
10.    Dalem Dermayu masuk agama Islam
11.    Arya Kuningan minta izin untuk menyerang Pajang

Bab-XXIII  Beberapa peristiwa di Carbon dan Demak (III)

01.     Sultan Demak-II memperoleh musibah di Gunung Carme
02.    Ki Gedeng Tegalgubug minta izin untuk menundukan Dalem Sindangkasih.     
03.    Pangeran Makdum batal menjadi Wali
04.    Jenis-jenis hukuman di Carbon
05.    Pembuatan Kuta Madhab empat
06.    Wafatnya Pangeran Pasarean
07.    Bencana di tengah laut
08.    Dikalahkannya Dalem Sindangkasih
09.    Wafatnya Pangeran Panjunan
10.    Perselisihan Patih Susukan dan Tegalgubug
11.    Kisah Ki Gedeng Panderesan dan Ki Kuwu Dipati. 

Bab-XXIV  Kisah Pangeran Jayakelana


01.     Pangeran Jayakelana gagal menjadi pedagang
02.    Pangeran Jayakelana bergaul dengan orang breman
03.    Pangeran Jayakelana gagal menunaikan ibadah haji  
04.    Pangeran Jayakelana dijatuhi hukuman  

Bab-XXV  Beberapa peristiwa di Carbon dan Demak (IV)

01.     Dewi Mandapa bertapa untuk melakukan pembalasan  
02.    Wafatnya Syekh Benthong dan Sunan Giri
03.    Riwayat canang Ki Bicak dari Ampel Gading
04.    Sunan Demak IV wafat dibunuh Arya Jipang
05.    Sunan Bonang wafat
06.    Kedatangan Tubagus Pase di Carbon
07.    Pangeran Kejaksan wafat, digantikan oleh Syekh Magribi.  
08.    Wafatnya Sunan Kudus oleh Tanda Jupu
09.    Lahirnya Dewi Tanuran Gagang
10.    Wafatnya Pangeran Jayakelana dan pemuka Carbon lainnya  
11.    Pernikahan cucu Sunan Gunung Jati

Bab-XXVI  Wafatnya Syarif Hidayatullah, Sunan Gunung Jati


01.     Wafatnya Sunan Gunung Jati, Syarif Hidayatullah
02.    Pemerintahan Carbon setelah wafatnya Sunan Gunung Jati
03.    Pangeran Achmad dari Banten mengunjungi raja Mesir.


MASA SETELAH WAFATNYA SUNAN GUNUNG JATI


Bab-XXVII  Kisah Dewi Tanuran Gagang


01.     Dewi Tanuran Gagang pindah ke Carbon
02.    Arya Jipang Tumenggung Demak membunuh SunanPerwata
03.    Dewi Tanuran Gagang diambil Sultan Mataram
04.    Dewi Tanuran Gagang diserahkan kepada Belanda
05.    Dewi Tanuran Gagang dibawa ke Inggris

Bab-XXVIII  Kisah perjalanan Sultan Banten ke Mesir


01.     Perjalanan Pangeran Muhammad ke negara Mesir.
02.    Sultan Banten tiba kembali di Banten

Bab-XXIX  Beberapa peristiwa di Carbon


01.     Kisah kematian Sunan Penggung  
02.     Meninggalnya Syekh Datuk Khapi dan ulamaulama lainnya
03.    Pangeran Carbon wafat sebelum dinobatkan, dan lahirnya Pangeran Agung.             
04.    Kisah Sunan Kalijaga dan istrinya Nyi Undi  
05.    Wafatnya Sunan Makdum
06.    Kisah Merbot Jaruman.   
07.    Pangeran Agung dinobatkan bergelar Panembahan Ratu.  
08.    Sunan Kalijaga wafat  
09.    Perkawinan Panembahan Ratu dengan putri Sunan Pajang  

Bab-XXX  Masa pemerintahan Panembahan Ratu


01.     Carbon sebagai bawahan Mataram  
02.    Banten diserbu Mataram
03.    Datuk Pardum murid Syekh Lemabang  
04.    Masa pemerintahan Panembahan Ratu
05.    Arya Kuningan memberontak kepada Panembahan Ratu  
06.    Wangsit Sunan Kalijaga kepada Panembahan Ratu
07.    Mesjid Agung Carbon mendapat gangguan
08.    Nyi Tegal Pangalang-alang membantu Panembahaan Ratu
09.    Kedatangan Nyi Gedeng Pancuran  
10.    Pemberontakan Nyi Gedeng Dempul  
11.    Mesjid Agung Carbon terbakar
12.    Panembahan Ratu wafat  

Bab-XXXI  Masa pemerintahan Panembahan Girilaya


01.     Pangeran Putra diangkat menjadi Panembahan Girilaya  
02.    Pangeran Banten menobatkan diri menjadi Sultan Banten  
03.    Panembahan Girilaya seba ke Mataram  
04.    Pemberontakan Patih Genden di Pekalangan  
05.    Awal perselisihan Carbon dengan Mataram  
06.    Patih Carbon membalas dendam
07.    Pembalasan Mataram kepada Carbon  
08.    Pembesar-pembesar Mataram yang melarikan diri ke Carbon  
09.    Pemberontakan Buyut Urang  
10.    Wafatnya Panembahan Girilaya  

Bab-XXXII  Carbon setelah wafatnya Panembahan Girilaya


01.     Sultan Banten mengambil anak-anak Panembahan dari Mataram  
02.    Berdirinya Kasepuhan dan Kanoman
03.    Kisah Pangeran Kusumajaya
04.    Pesan Pangeran Kusumajaya kepada kedua adiknya
05.    Carbon dibawah Kasepuhan dan Kanoman
06.    Berdirinya Panembahan Kacarbonan
07.    Sultan  Kanoman dan Panembahan Kacarbonan mempersiapkan penggantinya
08.    Pemberontakan di Gunung Galunggung
09.    Sultan Kanoman difitnah
10.    Sultan Sepuh wafat
11.    Dinobatkannya Pangeran Arya Carbon
12.    Pangeran Arya Carbon membangun Sunyaragi
13.    Panembahan Aji dari Panembahan Kacarbonan meninggal  
14.    Pemberontakan Syekh Yusup

Bab-XXXIII  Pemerinatahan Carbon periode 1703 – 1889


01.     Sultan Badridin dari Kanoman wafat diganti anaknya Sultan Haliruddin
02.    Sultan Haliruddin dari Kanoman wafat, diganti anaknya Sultan Abu Thoyib
03.    Sultan Sepuh Jamaludin dari Kasepuhan wafat digantikan oleh Sultan Tajul Arifin
04.    Arya Carbon dari Kacarbonan wafat, diganti anaknya Sultan Carbon Mertawijaya
05.    Sultan Carbon wafat, diganti adiknya Sultan Carbon Adiwijaya
06.    Sengketa Hutan Sumedang
07.    Sultan Anom Abu Thoyib dari Kanoman wafat, diganti anaknya Sultan Anom Buheriddin.  
08.    Panembahan Tohpati dari Panembahan Kacarbonan wafat, diganti anaknya Panembahan Radya
09.    Sultan Sepuh Tajul Arifin dari Kasepuhan wafat, diganti anaknya Sultan Sepuh Jaenudin.  
10.    Sultan Carbon Adiwijaya wafat digantikan oleh mantunya Sultan Carbon Abuhayat
11.    Sultan Sepuh Zaenuddin dari Kasepuhan wafat, diganti anaknya Sultan Sepuh Matangaji, dan Sultan 
          Muda Kasepuhan
12.    Sultan Khaeriddin dari Kanoman wafat, diganti anaknya Sultan Anom Abu Thoyib Imanuddin
13.    Sultan Muda Kasepuhan dari Kasepuhan wafat, diganti anaknya Sultan Joharuddin
14.    Sultan Imanuddin dari Kanoman wafat, diganti anaknya Sultan Anom Komaruddin
15.    Pemberontakan Ki Bagus Rangin. Pengangkatan Sultan Carbon Buhaeriddin di Kacarbonan.  
16.    Belanda merubah pemerintahan di Carbon
17.    Sultan Carbon Abu Hayat dari Kacarbonan wafat, dan tidak digantikan lagi.            
18.    Sultan Sepuh Joharuddin dari Kasepuhan wafat, diganti adiknya Sultan Syamsuddin-I
19.    Pemberontakan Bagus Serit
20.    Masjid Agung Carbon diperbaiki
21.    Sultan Sepuh Syamsuddin-I dari Kasepuhan wafat, diganti anaknya Sultan Sepuh Syamsuddin-II.     
22.    Sultan Anom Komaruddin dari Kanoman wafat diganti anaknya Pangeran Raja Nurbuat
24.     Sultan Syamsuddin-II dari Kasepuhan wafat

DAFTAR BAGAN DAN GAMBAR

BAGAN-BAGAN :

01.   Pupuh dalam Sastra Sunda
02.   Transliterasi Aksara Pegon
03.   Silsilah Wali-wali di Jawa
03.1 Silsilah Keturunan Para Mubaligh di Jawa
04.1 Silsilah Keturunan Syarif Hidayatullah (1)
04.2 Silsilah Keturunan Syarif Hidayatullah (2
04.3 Kronologi Pemerintahan Carbon (1479 – 1674)
04.4 Kronologi Kesultanan Kasepuhan
04.5 Kronologi Kesultanan Kanoman 
04.6 Kronologi Kacarbonan  
04.7 Kronologi Panembahan Carbon
05.   Kronologi Kesultanan Banten
06.   Kronologi Pangeran Jaketra
07.1 Silsilah Kesultanan Demak dan Pajang  
07.2 Kronologi Kesultanan Demak
08.  Kronologi Kerajaan Mataram  


GAMBAR-GAMBAR :

01.     Peta Jawa Barat
02.    Denah Astana Gunung Sembung dan Gunung Jati.    
03.    Denah Astana Gunung Jati
04.    Denah Astana Gunung Sembung  
05.    Peta Cirebon dan sekitarnya  
06.    Peta Kota Cirebon